Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Sejarah Suku Bantik

Suku Bantik

Bantik adalah kelompok sosial yang berdiam di beberapa tempat di pesisir barat laut, utara dan selatan Kota Manado, dalam wilayah Kabupaten Minahasa, Provinsi Sulawesi Utara.

Suku Bantik adalah salah satu sub Suku Minahasa yang mendiami daerah-daerah di Sulawesi Utara daratan. Suku Bantik berada di wilayah sebelah barat daya kota Manado, yaitu di Malalayang dan Kalasei. Sebelah utara Manado, yaitu di Buha, Bengkol, Talawaan Bantik, Bailang, Molas, Meras serta Tanamon di kecamatan Sinonsayang Minahasa Selatan. Selain itu, juga terdapat di Ratahan dan wilayah Mongondouw. Berdasarkan legenda suku Bantik pada zaman dahulu terlambat datang pada acara musyawarah di batu Prasasti Pinawetengan. Ada tiga nama dotu Muntu-Untu yang menghadiri musyaarah tersebut, yaitu Muntu-Untu abad abad ketujuh asal Telebusu (Tontemboan), Muntu-Untu abad keduabelas asal Tonsea, dan Muntu-Untu abad kelimabelas zaman Spanyol. Musyawarah besar di batu Pinawetengan bertujuan untuk membuat ikrar supaya tetap bersatu tidak saling bermusuhan. Oleh karena keterlambatan tersebut, suku bantik tidak mempunyai senjata untuk perang. Suku Bantik adalah keturunan Toar-Lumimuut yang bermukim dan menjaga perairan wilayah utara kepulauan Sangihe Talaud. Tapi, pada satu waktu terjadi bencana tsunami yang membuat mereka mengungsi ke daratan Sulawesi Utara di sekitar Bolaang Mongondow. Setelah itu, di masa perang Minahasa suku bantik termasuk ke dalam pasukan Bolaang Mongondow yang bertugas menyerbu dan menduduki beberapa wilayah di Minahasa. Tahun 1690-an setelah perang berakhir suku bantik memilih menetap di Minahasa dan memutuskan bergabung dengan suku bangsa perserikatan Minahasa.

Sumber tertentu menyebutkan bahwa mereka ini datang dari daerah Toli-Toli sekitar abad ke-16. Mereka terbilang kelompok kecil namun memiliki bahasa tersendiri yang biasa disebut bahasa Bantik. Bahasa ini banyak persamaannya dengan bahasa Sangir.

Pada masa lalu berbagai aktivitas budaya, misalnya dalam cara-cara perkawinan, memperlihatkan perbedaan atau variasi dibandingkan dengan yang ada dalam budaya orang Minahasa, yang merupakan lingkungan sosial yang dominan di sekitarnya. Kini orang Bantik cenderung mengidentifikasi dirinya sebagai orang Minahasa. Sebagian besar dari mereka memeluk agama Kristen.

Sistem Kepercayaan

Sistem kepercayaan masyarakat suku bantik diawali oleh kepercayaan animisme sebagai kepercayaan suku. Mereka mempercayai adanya tempat yang memiliki kekuatan gaib. Selain itu sistem kepercayaan ini menyakini pula bahwa manusia dapat memiliki kekuatan lebih selain kekuatan normal yang ada dalam setiap manusia. Untuk mendapatkan kekuatan ini mereka harus mengikuti berbagai aturan sesuai kepercayaan tersebut. Dalam perkembangan kehidupan mereka terjadi peralihan pemahaman terhadap sistem kepercayaan saat masyarakat mulai menyakini ajaran Alkitab melalui pengabaran yang dilakukan pada era Hindia-Belanda, sehingga saat ini mereka hidup dalam sistem kepercayaan Kristen.

Sosial

Masyarakat suku bantik merupakan satu komunitas yang hidup dalam satu aturan lokal yang berlaku dalam masyarakat setempat. Mereka hidup dalam satu lingkungan kelompok yang terpisah dengan masyarakat Minahasa non-bantik. Ada semboyan yang berlaku dalam masyarakat setempat, yaitu saling menyayangi (hingirindang), satu perasaan (hintakinang) dan saling menolong (hintalunang). Selain itu, suku bantik juga dikenal dengan rukun persaudaraan singkatuhang atau juga disebut rukun basudara. Hal tersebut dapat dilihat dari adanya kegiatan saling membantu di antara mereka melalui gotong royong dan tolong-menolong (poposadeng) yang dipimpin oleh touramo atau ketua rukun. Pimpinan tersebut bersifat resmi dan pengangkatan atau pemilihannya dilakukan oleh anggota kerabat.

Budaya

Dalam waktu yang telah disepakati bersama, mereka mengadakan berbagai acara budaya yang dipergelarkan di lapangan berupa tari-tarian. Kewibawaan masyarakat seakan menjadi lebih berarti ketika berhasil melewati satu tantangan atau mengadakan satu acara sebagai ucapan syukur pada Tuhan Yang Maha Esa. Dalam pemahaman dan kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat setempat, proses kehidupan manusia mempunyai hubungan sebab akibat. Artinya apabila ada pelanggaran aturan yang berlaku dalam masyarakat setempat maka bencana yang terjadi dalam kehidupan pribadi atau keluarga dari si pelanggar dipahami sebagai akibat dari perbuatan sebelumnya.